Laman

Monday, March 12, 2012

bambu asli indonesia

BERKEBUN REBUNG BAMBU

Pada daftar menu sebuah restoran cina terkenal di Jakarta, antara lain tertera lumpia. Isi lumpia adalah rebung bambu. Indonesia konon kaya akan bambu yang rebungnya enak dimakan. Namun, lumpia di restoran tersebut tidak enak. Bukan karena juru masaknya kurang canggih. Bukan pula karena bumbu-bumbunya kurang tepat. Melainkan karena kualitas rebungnya jelek. Seharusnya hanya bagian rebung yang benar-benar empuk  yang bisa diambil. Tetapi karena kurangnya pasokan, maka bagian keras dari rebung tersebut ikut pula dimanfaatkan. Akibatnya, tingkat kelezatan lumpia menurun. Selain karena rebungnya berkayu, aromanya juga tidak enak. Hal ini  bisa terjadi, karena di Indonesia belum ada kebun bambu yang rebungnya bisa dipanen secara terus-menerus sepanjang tahun. Rebung yang selama ini masuk ke restoran lumpia itu, berasal dari rumpun bambu yang tumbuh liar di kebun-kebun rakyat yang tidak terawat. Panen rebungnya hanya sekali dalam setahun, yakni pada awal musim penghujan.
Beda dengan di Jepang, RRC, Taiwan, Vietnam dan Thailand. Di negara-negara tadi, bambu telah dikebunkan secara serius. Jarak tanamnya diatur rapi. Lahan di bawah tegakan bambu itu bersih. Dalam satu rumpun bambu hanya akan dipelihara maksimal 5 batang. Di Jepang dan RRC, malahan hanya dibiarkan satu batang bambu pada tiap rumpun. Karena kebun bambu ini memperoleh pengairan, maka panen rebung bisa dilakukan secara teratur sepanjang tahun. Kecuali di kawasan sub tropis (bersalju), yang panen rebungnya ditentukan oleh musim. Bukan oleh faktor pengairan. Pada musim dingin, tanaman bambu akan menjalani istirahat panjang (dorman). Begitu musim semi tiba, maka rebung pun akan bermunculan. Hingga, meskipun diberi pengairan cukup, panen rebung di kawasan sub tropis hanya akan terjadi sekali dalam setahun. Di kawasan tropis, bambu akan mampu menghasilkan rebung sepanjang tahun, asal airnya cukup. Secara alamiah, pada musim kemarau, bambu di kawasan tropis juga akan mengalami istirahat. Namun pada saat itu sinar matahari justru sedang optimal. Hingga dengan adanya air irigasi, maka produktifitas rebung justru akan lebih tinggi pada musim kemarau tersebut.
Secara periodik, bambu yang telah cukup tua juga harus dipanen. Caranya, setiap kali satu rebung harus dibiarkan tumbuh terus, hingga menjadi batang bambu baru. Setelah individu baru itu cukup kuat, individu yang paling tua ditebang. Demikian seterusnya hingga rumpun bambu itu selalu mengalami peremajaan. Namun di Thailand, ada sebuah mitos. Jenis bambu unggul yang dijadikan induk untuk kebun bambu, berasal dari biji. Selanjutnya, pengembangbiakannya dilakukan secara vegetatif dengan pemberian media pada pangkal cabang yang menempel di batang. Istilah gampangnya disebut cangkokan. Namun seluruh bambu yang dikebunkan untuk diambil rebungnya itu, setelah 80 tahun akan berbunga dengan serentak kemudian mati semua. Pada saat itulah harus dimulai lagi pengembangan bambu secara generatif melalui biji. Demikian seterusnya setiap 80 tahun harus dilakukan peremajaan tanaman bambu melalui penumbuhan biji. Di Indonesia, kita tidak tahu apakah kasus demikian juga ada. Sebab di sini memang belum ada kebun bambu, yang dikelola secara profesional seperti halnya di Thailand.
Jenis bambu yang paling enak rebungnya adalah bambu ater (Gigantochloa atter) dan bambu betung (Dendrocalamus asper). Hingga dua jenis bambu ini pulalah yang banyak dibudidayakan di Thailand, RRC, Taiwan dan Jepang; meskipun dari varietas yang berbeda. Di Indonesia pun dijumpai banyak varietas bambu betung. Ukuran bambu ater, lebih kecil dibanding bambu betung. Diameter buluh bambu ater hanya sekitar 10 cm, sementara bambu betung bisa mencapai 20 cm. Tinggi buluh bambu ater hanya sekitar 20 m. sementara bambu betung bisa mencapai 30 m. lebih. Namun di Thailand, bambu betung yang dibudidayakan untuk diambil rebungnya justru dari varietas yang kecil. Penampang buluhnya sama dengan bambu ater, sementara tingginya malahan kurang dari 10 m. Ukuran rebungnya juga kecil-kecil. Varietas betung kecil ini memang cocok untuk dikembangkan sebagai penghasil rebung, sebab pemeliharaannya akan lebih mudah. Dengan tinggi batang kurang dari 10 m. maka cabang-cabangnya akan tumbuh mulai dari ketinggian antara 1 sd. 2 m. hingga memudahkan untuk pengembangbiakannya. Bambu betung kita yang tingginya mencapai 30 m. akan menyulitkan  untuk mengambil bibit dari cabang-cabangnya yang tinggi.
Pemanfaatan cabang untuk benih, jauh lebih menguntungkan jika dibanding dengan anakan yang diambil dari rumpun (bonggol bambu). Sebab biaya pengambilan bonggol (dengan cara digali, dipotong dan didongkel) jauh lebih tinggi jika dibanding dengan menumbuhkan akar pada pangkal cabang yang menempel di batang. Pengangkutan benih dari cabang juga relatif murah karena bobot serta volumenya tidaklah sebesar bibit dari potongan rumpun. Cara menumbuhkan akar pada pangkal cabang sangat mudah. Pangkal cabang tersebut dibersihkan dari seludang, kemudian dipasangkan serbuk sabut kelapa yang dibungkus plastik transparan. Kalau akar sudah tumbuh dan mulai kelihatan berwarna cokelat, maka cabang tersebut bisa diambil, kemudian bagian ujungnya dipotong dan disisakan hanya sepanjang 1m. Setelah plastik pembungkus media dibuang, bibit tersebut disemai dalam polybag. Diperlukan waktu sekitar 1 sd. 3 bulan dalam penyemaian untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Baik tunas cabang maupun tunas batang dari dalam media. Ketika itulah benih sudah bisa dipindahkan ke lahan secara permanen.
Ada dua pendapat terhadap bambu betung "mini" tersebut. Pertama, yang menganggap bahwa ini merupakan varietas atau sub varietas dari bambu betung. Jadi secara genetik memang akan tumbuh kerdil. Bukan seperti bambu betung pada umumnya yang cenderung tinggi besar seperti raksasa. Pendapat kedua mengatakan, bahwa sebenarnya kekerdilan bambu betung ini merupakan akibat dari sistem budidaya menggunakan benih dari cabang. Bukan dari pemisahan rumpun. Selain itu, pengambilan rebung secara terus-menerus juga akan mengakibatkan buluh-buluh bambu betung itu tumbuh kerdil. Lebih-lebih jarak tanam antar rumpun di kebun bambu ini sangat rapat, yakni 4 X 6 m. Hingga populasi per hektarnya bisa mencapai 400 rumpun. Dalam tiap rumpun ada 5 batang buluh yang siap untuk dipanen setiap tahun 1 buluh. Hingga dari 1 hektar kebun bambu, tiap tahunnya dapat diperoleh 400 batang bambu yang sudah cukup tua karena berumur 5 tahun. Kalau satu batang bambu di kebun berharga Rp 5.000,- maka dari tiap hektar kebun bambu itu tiap tahunnya dapat diperoleh pendapatan Rp 2.000.000,- Selain itu, apabila kebun bambu diberi pengairan, dari masing-masing rumpun, tiap minggunya dapat dipanen 1 rebung bambu. Sebab pertumbuhan rebung ini luarbiasa cepat.
Hingga dari satu hektar kebun bambu, per minggu dapat dipanen 400 rebung. Setelah dibersihkan dan bagian pangkalnya dibuang, bobot satu rebung hanya sekitar 1 sd. 1,5 kg. Hingga hasil per hektar per tahun sekitar 20 sd. 30 ton rebung yang sudah terkupas dan dibuang bagian pangkalnya yang berkayu. Dengan harga sekitar Rp 2.000,- per kg. maka dari satu hektar lahan itu akan dapat diperoleh pendapatan kotor dari rebung Rp 40.000.000,- sd. Rp 60.000.000,- dalam setahun. Sebagian besar dari pendapatan tersebut akan digunakan untuk biaya penyusutan, tenaga kerja (pengambilan rebung dan pengupasan), serta untuk pengairan. Pendapatan bersih bisa separo dari pendapatan kotor tersebut. Dibanding dengan tanaman palawija (jagung, singkong, kedelai), pendapatan bersih Rp 20.000.000,- sd. Rp 30.000.000,- per tahun tersebut sudah termasuk bagus. Ketika sedang musim penjarahan dan pencurian seperti sekarang ini, komoditas rebung bambu memiliki peluang yang cukup menarik. Sebab mencuri serta menjarah rebung bambu pasti kurang tinggi daya tariknya.
Di pulau Jawa, terutama di lereng-lereng pegunungan dengan tingkat kemiringan lahan antara 20 sd. 45°, komoditas bambu merupakan pilihan yang sangat tepat. Sebab lahan-lahan dengan kemiringan tinggi tersebut akan sangat rawan longsor serta erosi apabila dibuka untuk tanaman semusim. Sementara apabila dibiarkan kembali menjadi hutan (rimba), maka masyarakat sulit untuk memperoleh penghasilan dari lahan tersebut. Hingga menghutankan lahan-lahan kritis tersebut dengan bambu menjadi sangat tepat. Lahan akan terselamatkan, sementara masyarakat dapat secara rutin memperoleh pendapatan dari rebung maupun panen bambu setiap tahunnya. Namun budidaya bambu untuk diambil rebungnya, mutlak memerlukan investasi air. Total biaya investasi air tersebut sekitar Rp 200.000.000,- Rinciannya, sekitar Rp 100.000.000,- untuk sumur berikut pompa, perijinan dan geolistrik, Rp 30.000.000,- untuk saluran distribusi dan yang Rp 70.000.000,- guna instalasi tampungan (reservoar). Biaya Rp 200.000.000,- tersebut bisa disusutkan untuk jangka waktu 20 tahun atau per tahunnya Rp 10.000.000,- Karena sumur tersebut bisa mengcover areal sekitar 10 hektar, maka tiap hektarnya akan terkena beban biaya Rp 1.000.000,-
Kalau dari tiap hektar kebun bambu itu per tahun bisa dipanen 20 ton rebung, maka beban pengadaan air untuk tiap kg. rebung adalah Rp 50,- Hingga sebenarnya tidak terlalu tinggi dibanding dengan komponen biaya lainnya seperti pupuk dan tenaga kerja. Karena bambu relatif tahan terhadap gangguan hama serta penyakit, maka hampir tidak diperlukan pestisida. Kalau kebun bambu ini bisa dirintis pengembangannya di areal hutan milik Perum Perhutani misalnya, maka iklim mikro di suatu kawasan akan bisa diperbaiki. Sebab pada saat kemarau panjang berlangsung, kelembapan udara di sekeliling kebun (hutan) bambu yang diberi pengairan itu pasti akan tinggi. Apabila kebun-kebun demikian bisa sedikit lebih dimasalkan, misalnya bisa menutupi sebuah bukit, maka iklim mikro ini akan bisa memperngaruhi iklim yang agak makro. Misalnya, kalau di suatu kecamatan, pembudidayaan bambu dengan pengairan teknis bisa dilakukan, maka imbas perbaikan lingkungan pasti akan menyebar di kecamatan-kecamatan di sekitarnya. Dan dengan panen rebung bermutu baik, maka restoran lumpia di Jakarta, Semarang dan Surabaya, tidak perlu kesulitan bahan baku bermutu. (R) ***        

No comments: