Memaknai Pertanian Organik.

Foto
Lily Noviani Batara
Berbagai cara digunakan orang atau
organisasi untuk mengkampanyekan pertanian organik. Lebih ramah
lingkungan, tidak butuh biaya besar karena bisa dibuat sendiri,
menghasilkan makanan sehat, dan harga jualnya lebih baik daripada produk
pertanian konvensional kini menjadi kalimat untuk menarik minat bertani
organik. Bahkan Pemerintah pun mengeluarkan program “GO Organic 2010”
dengan target Indonesia mengekspor produk organik pada 2010.
Perusahaan agribisnis yang dulunya memproduksi pupuk
dan pestisida kimia, jeli menangkap peluang ini sehingga mulai berlomba
memproduksi pupuk dan pestisida organik. Mereka memanfaatkan karakter
petani yang sejak jaman pertanian modern telah diarahkan kepada input
yang serba instan (benih, pupuk, dan pestisida tinggal pakai). Sehingga
proses penyadaran yang tidak utuh akan menggiring petani lebih memilih
paket organik instan ketimbang membuat sendiri pupuk dan pestisida
dengan alasan efektif dan efisien. Jika hal ini dibiarkan, petani akan
selalu tergantung pada produksi buatan pabrik yang bahan baku, kualitas,
dan harganya ditentukan oleh penguasa. Petani tidak akan pernah bisa
mandiri dan berdaulat sebagai produsen pangan.

Foto
Tanaman Padi di Ciastana
Mengembalikan peran perempuan
dalam proses produksi juga merupakan pendekatan yang harus terintegrasi
dalam pertanian organik. Sebelum masa pertanian modern, perempuan
menguasai sekitar 60% proses produksi mulai dari seleksi benih hingga
panen. Kaum perempuan khususnya keluarga miskin menghidupi keluarga
dengan memperoleh pekerjaan selama panen, sehingga menyumbang kepada
pemasukan rumah tangga secara berarti. Pertanian modern (revolusi hijau)
menggusur perempuan dari peran mereka di sawah, sementara anggapan
bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga mengakibatkan banyak
informasi tentang program ini tidak menyentuh kaum perempuan. Belum lagi
tipe padi dan teknologi yang digunakan secara sistematik mengabaikan
perempuan, input produksi juga menyimpan residu kimia dalam tubuh
perempuan. Sehingga perempuan dipaksa meninggalkan pertanian, namun
untuk memenuhi tanggungjawabnya sebagai tiang pangan keluarga mereka
menjadi tenaga kerja di luar negeri seperti pekerja seks, pekerja rumah
tangga, buruh pabrik, dan lain-lain yang rentan dengan pelecahan dan
diskriminasi.

Tanaman
Jagung dan Singkong
Menghidupkan kembali kearifan lokal
seperti ritual tanam, kalender musim/ pronoto mongso, kecocokan tanaman
dengan karakteristik petani dan kondisi topografi/geografi setiap daerah
seharusnya tidak dilupakan pertanian organik. Kearifan lokal dengan
berbagai ragam pengetahuan manusia dihapus oleh pertanian modern,
menjadi hanya satu pola bentuk pertanian. Bibit lokal, kearifan
pengetahuan pertanian lokal dicap “primitif” oleh penggiat pertanian
modern. Julukan primitif ini diikuti promosi besar-besaran jenis padi
hibrida unggul, tahan terhadap segala jenis penyakit dan hama, produksi
lebih tinggi, dan waktu panen yang cepat.

Produk
Singkong di Ciastana
Praktik pertanian organik seharusnya
membawa perubahan mendasar dalam kehidupan sosial yang dulu pernah ada
dan hidup di komunitas pedesaan. Dulu, hubungan antara pemilik tanah dan
penggarap tidak hanya didasarkan pada ikatan ekonomis saja, tetapi
mereka juga menjalin hubungan yang mengandung ikatan solidaritas sosial.
Contohnya, bila salah seorang keluarga petani ditimpa musibah atau
gagal panen, maka beban ini ditanggung oleh anggota komunitas yang lain,
termasuk oleh pemilik tanah. Solidaritas masyarakat desa ini pulalah
yang mencegah dan menyelamatkan keluarga-keluarga petani miskin dari
bencana kelaparan yang disebabkan oleh kerawanan ekologis. Apabila
pendekatan pertanian organik tidak holistik, maka pertanian organik
tidak ubahnya seperti revolusi hijau.
(Lily Noviani
Batara/ink)
|
No comments:
Post a Comment